Dikutip dari Tabloid NOVA No. 650/XIII
Sebentar lagi adalah tahun ajaran baru bagi mereka yang baru masuk ke sekolah tinggi, entah itu sekolah tinggi, akademi, institut atau apa pun. Beberapa dari Anda yang memiliki anak umur 18 atau 19 tahun yang akan masuk ke sekolah itu mungkin masih belum memutuskan sekolah mana yang tepat untuk anak Anda. Bisa karena alasan lokasi, mutu, atau yang paling sering: karena masalah biaya.
Bagaimana kalau pada saat ini anak Anda yang berumur 18/19 tahun datang kepada Anda, duduk dan mengatakan: "Mama/Papa, tolong belikan saya mobil baru. Saya tadi melihat mobil baru di koran, dan sepertinya mobil itu cocok buat saya. Saya perlu mobil supaya gampang pergi ke mana-mana. Harganya cuma Rp 45 juta. Beli, ya?"
Apa jawaban Anda? Mungkin Anda akan menolaknya. "Enak saja... Memangnya dia pikir orang tuanya ini pohon uang, apa?" Anda mungkin berpikir bahwa tidak ada seorang pun anak Anda yang bisa datang seenaknya kepada Anda dan minta dibelikan mobil baru.
Tapi bagaimana kalau anak Anda datang kepada Anda, duduk, dan mengatakan: "Mama/Papa, saya sudah lihat tiga sekolah yang menurut saya cukup baik. Saya hitung-hitung, sampai lulus cuma perlu bayar Rp 60 juta. Jadi sekitar Rp 12 juta setahun. Saya ingin masuk ke situ. Bisa, ya?"
Apa jawab Anda? Bukan hanya Anda dan suami/istri akan mengiyakan, tapi mungkin bersedia me-lakukan apa pun supaya anak Anda bisa masuk ke sekolah yang dia inginkan. Anda mungkin akan menguras semua isi tabungan Anda, pinjam uang ke bank, atau mengambil pekerjaan sampingan.
Malah ada lagi cara yang paling mudah, yakni pinjam uang ke saudara. "Ini menyangkut masa depan anak, lo..." begitu pikir Anda. "Jika saya tidak menyanggupinya, berarti saya mungkin akan menghancurkan masa depan anak saya. Uang tidak jadi masalah buat kita. Saya akan pinjam uang kalau perlu. Yang penting dia bisa kuliah di tempat yang dia inginkan."
Yah, kalau pada saat ini Anda tidak memiliki uang cukup untuk mampu membayar biaya kuliah di tempat yang diinginkan anak Anda, maka uang yang Anda pinjam dari bank atau dari saudara untuk bisa membayar biaya kuliah tersebut bisa membuat Anda terpuruk dalam hutang. Entah itu selama beberapa bulan atau beberapa tahun.
Kalau begitu halnya, kenapa Anda tidak mencoba mengakali (baca: menekan) biaya kuliah anak Anda di perguruan tinggi? Ada beberapa strategi yang saya sarankan:
Strategi 1: Bandingkan penghasilan yang kelak akan didapat dengan biaya yang mesti dikeluarkan sekarang
Kalau Anda perhatikan, sebetulnya Anda tidak harus selalu menyekolahkan anak Anda ke perguruan tinggi yang mahal. Sebagai contoh adalah bila anak Anda ingin menjadi seorang antropolog.
Antropolog adalah profesi yang luar biasa dan saya memberikan respek penuh kepada profesi ini. Tapi harus diakui, pada kenyataannya profesi antropolog di Indonesia tidak akan mendapatkan penghasilan yang bisa dikatakan besar. Karena itu, daripada menyekolah-kan anak Anda ke jurusan antropologi di universitas yang mahal, kenapa Anda tidak mempertimbangkan jurusan antropologi di perguruan tinggi yang lebih murah biayanya? Toh itu tidak akan mempengaruhi income anak Anda kelak, kan?
Berkaitan dengan strategi 1 ini ada beberapa hal yang sebaiknya Anda ketahui:
* Kebanyakan perusahaan tidak peduli di mana Anda sekolah. Buat mereka, sudah cukup bila Anda memiliki gelar tertentu seperti S1, misalnya. Ini karena mereka sebetulnya lebih melihat bagaimana pengalaman Anda dan bagaimana kemampuan Anda dalam menjalankan pekerjaan Anda.
Kalau Anda tidak percaya, coba Anda tanyakan hal ini ke bagian SDM di perusahaan Anda, orang macam apa yang akan mereka terima sebagai karyawan baru: mereka yang kuliah di sekolah mahal dan bergengsi tapi kemampuan pas-pasan, atau mereka yang lulusan sekolah tidak terkenal tapi keterampilannya oke.
* Banyak sekali lulusan universitas yang pada akhirnya bekerja di bidang yang jauh berbeda dengan bidang yang mereka tempuh dulu ketika kuliah. Coba ingat-ingat lagi bidang pekerjaan macam apa yang dijalani teman kuliah Anda dulu. Atau lihat teman-teman kerja Anda pada saat ini, apakah semua dari mereka kuliah di bidang yang sama dengan pekerjaan mereka saat ini.
* Banyak sekali lulusan universitas yang sulit dapat kerja, atau hanya bekerja beberapa tahun saja dan kembali ke rumah untuk membesarkan anak. Malahan banyak di antara mereka yang tidak pernah lagi bekerja. Atau, ada juga yang baru kembali bekerja setelah 10 atau 20 tahun berada di rumah (kebanyakan dari mereka ada yang kembali ke sekolah untuk menyegarkan ingatan mereka kembali sebelum mereka kembali masuk ke dunia kerja).
Strategi 2: Cari sekolah S1 yang lebih murah kalau anak Anda ingin terus ke jenjang S2.
Bila anak Anda berencana untuk memasuki bidang pekerjaan yang mensyaratkan gelar S2, akan lebih baik bila Anda mencari sekolah S1 yang tidak mahal. Ini karena sekolah S2 sendiri pada saat ini sudah cukup tinggi biayanya, dan untuk bisa masuk ke sekolah S2, kebanyakan dari sekolah-sekolah S2 itu tidak mensyaratkan agar anak Anda harus lebih dulu masuk ke sekolah S1 yang mahal. Jadi, kenapa Anda harus mencari sekolah S1 yang mahal kalau dengan sekolah S1 yang berbiaya lebih murah anak Anda punya kesempatan yang sama dengan anak-anak lain untuk masuk ke Sekolah S2?
Strategi 3: Beritahu anggaran biaya Anda pada anak Anda - atau kalau perlu libatkan saja dia sekalian.
Anak Anda mungkin mengatakan: "Saya mau sekolah di universitas itu atau ini." Dia tidak mengetahui biayanya sama sekali, dan Anda-lah yang harus mencari tahu berapa biayanya. Dan bila biaya sekolah itu cukup mahal, Anda jadi berpikir-pikir bagaimana caranya agar bisa membayar biayanya. Daripada melakukan hal itu, coba Anda pertimbangkan cara berikut:
Pada saat ini, biaya kuliah di universitas swasta yang cukup ternama di Indonesia adalah Rp 60 juta hingga lulus. Setelah lima tahun kuliah dan lulus, maka si sarjana baru akan bekerja dan mendapatkan gaji sebesar, katakan saja Rp 1 juta per bulan.
Dengan asumsi bahwa gaji itu akan naik 15 persen per tahun, maka sarjana itu cuma perlu waktu 4 tahun 1 bulan untuk bisa mendapatkan kembali Rp 60 jutanya. Tentunya dengan asumsi bahwa semua gajinya tidak dibelanjakan.
Bagaimana kalau hanya 80 persen yang dibelanjakan? Ini berarti ada 20 persen dari penghasilan itu yang disisihkan untuk bisa mengembalikan Rp 60 juta tadi. Jika demikian, seberapa lama si sarjana itu bisa mengumpulkan kembali biaya kuliahnya yang Rp 60 juta? Jawabannya: 11 tahun 1 bulan.
Sekarang, bagaimana kalau si sarjana itu bekerja di bidang yang tidak ada hubungannya dengan bidang kuliahnya? Maka Rp 60 juta yang sudah dikeluarkan orang tuanya bisa dikatakan hampir sia-sia. Karena itu, akan lebih baik apabila sejak awal si sarjana kuliah di tempat yang lebih murah. Toh, bidang pekerjaannya berbeda dengan bidang kuliahnya, kan? Jadi buat apa mengambil kuliah di tempat yang mahal biayanya kalau toh bidang pekerjaannya nanti tak berkaitan dengan bidang kuliah?