Kata DEMO lengket di dalam dunia mahasiswa, khususnya ketika dimulai pada era angkatan 66 dan pasca setelah itu. Demo diambil dari potongan kata demonstrasi, yang artinya mempertunjukkan atau mempertontonkan sesuatu. Sebelum dipopulerkan oleh (terutama) mahasiswa Indonesia sampai sekarang ini, sebenarnya kata demonstrasi itu banyak digunakan untuk mempertunjukkan sesuatu supaya orang lain atau kelompok tertentu paham akan sesuatu itu. Misalnya, mahasiswa UBB mendemonstrasikan bagaimana cara menanam jagung hibrida dengan benar di pot percobaan kampus Balun ijuk. Contoh lain, para pramugari yang sedang mendemonstrasikan bagaimana cara-cara memakai pelampung keselamatan jika terjadi pendaratan darurat. Demikian sebenarnya pemahaman terhadap kata demonstrasi ketika digunakan.
Nah, kalau sekarang, pemahaman orang menjadi berbeda. Ketika ada orang berkata, "wah ada demonstrasi" Pasti asosiasi di kepala orang-orang yang mendengarnya adalah sekelompok mahasiswa yang sedang beringas. Mengibar-ngibarkan spanduk dan bendera, berteriak-teriak sekeras-kerasnya (padahal sudah menggunakan pengeras suara), mencaci maki pejabat, yang biasanya dimulai pada pagi hari dan selesai pada jam makan siang. Anehnya pula, dan ini pengakuan para demonstran itu pula. Setelah puas berteriak-teriak mencaci maki, eee ujung-ujungnya minta nasi bungkus sama yang didemo itu. Ini namanya pemerasan gaya baru yang lain lagi.
Apakah berdemo seperti itu baik dan benar?. Menurut saya jelas tidak baik dan tidak benar. Pertama, kita lihat dulu mengapa tidak benar. Kalau anda mengatakan menyampaikan pendapat itu benar atau dapat dibenarkan, itu sih benar. Yang saya ingin luruskan adalah anda menggunakan kata mendemo untuk menyampaikan pendapat. Itulah yang salah. Salah kaprah.
Kami dulu di angkatan 66 dan beberapa tahun setelahnya 'berdemo' tidak untuk menyampaikan pendapat, tetapi mendobrak kezaliman. Menyampaikan pendapat tidak perlu turun beramai-ramai ke jalan, buat apa?, habis tenaga, dana dan waktu. Apalagi sekarang sudah tidak musimnya, ketinggalan zaman dan terkesan kampungan. Malu rasanya melihat mahasiswa UBB turun ke jalan, bawa spanduk kumal, mengganggu lalu lintas, teriak sekeras-kerasnya menggunakan pengeras suara dengan wajah merah padam, mata mendelik memelototi rektornya. Seperti rektornya itu berdosa besar dan tidak diakui lagi sebagai ayahandanya.
Saya menemui seperti itu sedih bukan kepalang. Saya membayangkan anak sendiri kok kurang ajar sekali kepada orang tuanya. Padahal masalahnya sepele sekali. Anda tahu kami turun ke jalan di tahun 66 adalah mengganyang PKI, partai no 2 terbesar yang dibekingi komunis China dan Rusia. Di tahun 98 mahasiswa turun ke jalan menjatuhkan Soeharto dan rezimnya yang anda semua tahu sebabnya. Kalau tejadi demikian itu, adanya kata demo patut digunakan.
Untuk kedepan saya tidak akan meladeni para mahasiswa yang menyampaikan pendapat dengan cara-cara seperti itu. Ini berkenaan dengan cara yang baik atau tidak baik. Dengan menggunakan cara-cara seperti yang saya pantau selama ini jelas tidak baik dan bertentangan dengan visi UBB "Unggul Membangun Peradaban". Kegiatan yang disebut dengan 'demo' itu telah menjadi habit atau kebiasaan yang tidak tepat digunakan lagi di kampus-kampus Indonesia. UBB tidak akan membiarkan kebiasaan yang salah kaprah ini menjadi kuman penyakit menular di kampus kita tercinta ini.
Saya serukan para mahasiswa Indonesia dimanapun berada, khususnya mahasiswa UBB tercinta, jika ingin menyampaikan pendapat datanglah baik-baik ke Rektor atau pimpinan yang lain. Atau cukup melalui SMS, Email dan lain-lain dengan bahasa yang santun dan buah pikir yang bernas (bermutu). Kita ubah sekarang 'demo' atau unjuk rasa itu menjadi UNJUK PIKIR sesuai dengan status dan martabat mahasiswa. Semoga terkesan dan bermanfaat.